Pertanian Organik Selaras Dengan Agama

10159_padi3

Anjuran pemerintah di masa lalu berupa program semacam insus, bimas atau inmas yang mengacu kepada gerakan revolusi hijau dengan tujuan semata-mata hanya kepada peningkatan produktifitas, tanpa disadari sudah mengarahkan para petani meninggalkan tuntunan agama Islam dalam mengelola alam dan pertanian. Paradigma dari gerakan revolusi hijau (green revolution) yang dikenal juga dengan sistem pertanian konvensional diantaranya adalah dengan mengubah potensi genetik dari tanaman juga meningkatkan penggunaan input-input eksternal seperti dengan meningkatkan pemakaian air, lebih banyak pupuk, lebih banyak pestisida, dll. Paket teknologi gerakan revolusi hijau yang dibawa yaitu dengan penyeragaman tanaman (monocropping), penggunaan varietas dengan produktifitas tinggi, herbisida, pestisida dan pupuk kimia buatan.

Dampak dari aplikasi paket teknologi ini yang sudah dirasakan secara meluas adalah erosi pada tanah, salinisasi (penggaraman) tanah, polusi air, eksploitasi berlebihan, kemiskinan lahan, berkurangnya keragaman hayati, bertambahnya jenis organisme pengganggu tanaman serta meningkatnya residu pestisida kimia dan antibiotik dalam makanan yang membahayakan tubuh manusia. Dampak yang timbul ini tentu saja sudah jelas merupakan suatu bentuk pengrusakan terhadap lingkungan. Sedangkan Allah berfirman dalam Qur’an Surat ke-7, Al A’raaf ayat 56 : “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdo’alah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik”.

Dengan adanya gerakan revolusi hijau ini seiring dengan waktu dan kondisi tanah yang semakin sakit, para petani yang mengaplikasikannya akhirnya ‘tergiring’ kedalam suatu keyakinan yang sangat kuat bahkan cenderung menjadi syirik yaitu bila bertani maka mutlak harus memakai pupuk urea, tanpa mempunyai urea maka lebih baik tidak menanam sama sekali karena mereka sudah memvonis pasti gagal. Tanpa disadari petani berkeyakinan bahwa urea-lah yang menumbuhkan tanamannya. Untuk mendapatkan urea ini seperti diberitakan media massa tidak jarang petani harus saling memaki-maki, harus bersitegang dengan saudaranya sesama petani bahkan harus saling tukar guling bogem mentah dengan urea.

Al-Qur’an Surat ke-56, Al Waaqi’ah ayat 63-64 dengan jelas menyatakan dalam bentuk pertanyaan untuk mengingatkan manusia : “Maka terangkanlah kepada-Ku tentang yang kamu tanam. Kamukah yang menumbuhkannya atau Kamikah yang menumbuhkannya?” Kemudian penjelasan mengenai hal ini disebutkan dalam Al-Qur’an Surat ke-7, Al A’raaf ayat 58 : “Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah; dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana. Demikianlah Kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang yang bersyukur.”

alquran1

Pada saat ini sudah diketahui bahwa kesuburan tanah tidak pernah bisa didapatkan dengan pemberian urea dan pupuk kimia sejenis, pemberian pupuk kimia ini hanya sekedar memberikan unsur hara tertentu kepada tanaman pada jangka waktu pendek dan akibat yang timbul justru adalah kesuburan tanah semakin lama semakin menurun sehingga dosis pemberian pupuk akhirnya semakin ditingkatkan oleh para petani di musim tanam berikutnya.

Sesungguhnya kesuburan tanah ini akan terjadi bila keseimbangan ekologi tanah dapat tercapai dimana semua unsur kehidupan di dalam tanah mendapatkan ‘haknya’ masing-masing, tidak justru diganggu dengan bahan kimia buatan dan diracun dengan obat-obatan kimia.

Pertanian konvensional juga menciptakan petani-petani yang serakah, semua makhluk hidup yang ada di sawahnya selain tanaman padi menjadi musuh yang harus dimusnahkan. Ada rumput/gulma – basmi dengan herbisida kimia, ada wereng – sikat dengan pestisida kimia, ada tikus – racun ditebar dimana-mana singkatnya begitu banyak makhluk yang hidup di sawah harus musnah dan dimusnahkan agar tidak mengganggu pekerjaan petani. Tanpa disadari para petani ini juga sudah menjadi pembunuh berdarah dingin dengan pembantaian massal makhluk hidup yang sebenarnya merupakan sahabat setia petani seperti laba-laba, capung, katak dan lainnya yang sebenarnya menjadi ‘satpam’ sukarela di sawah dengan menangkap dan memangsa organisma pengganggu tanaman seperti belalang, wereng dan lainnya. Cacing pun yang melakukan pelapukan bahan-bahan organik seperti daun-daun yang membusuk dan lainnya serta menjadi tenaga konstruksi dalam membuat terowongan udara dari dalam tanah ke permukaan tanah yang mempermudah masuknya udara dengan unsurnya seperti oksigen atau nitrogen ke dalam tanah ikut menjadi korban pembantaian juga, belum lagi hancurnya milyaran mikroorganisme yang ada dalam tanah dan air dimana sebagian besar dari merekalah yang berperan dalam penyediaan unsur hara/makanan bagi tanaman.

Tentu saja hal ini bertentangan dengan nilai-nilai Islam, dalam hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari (no.1126) disebutkan : Dari Anas ra., katanya : Rasulallah saw bersabda : “Seorang Muslim yang menanam pohon atau tanaman-tanaman, lalu sebagian hasilnya dimakan burung, manusia atau binatang, maka orang yang menanam itu mendapat pahala”.

Sistem pertanian organik lebih menekankan kepada pemanfaatan potensi lokal dengan memegang prinsip menjaga keragaman hayati, menjaga kesuburan tanah, menjaga daur ulang makanan dan menjaga pengendalian secara biologis seperti yang dicontohkan oleh Sang Maha Pencipta dalam bentuk hutan alami, jadi tidak hanya sekedar pengertian sempit berupa penggunaan pupuk dan pestisida organik saja. Dalam pertanian organik pemanfaatan lahan harus disesuaikan dengan peruntukannya seperti puncak gunung/bukit harus dijaga tetap ditumbuhi tanaman keras yang berfungsi mengikat air di pori tanah selain juga untuk menjaga kelembaban udara di atasnya sehingga bisa mengumpulkan awan untuk terjadinya hujan.

Disebutkan dalam Al-Qur’an Surat ke-50 ayat 7-8 : “Dan kami hamparkan bumi itu dan Kami letakkan padanya gunung-gunung yang kokoh dan Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata, untuk menjadi pelajaran dan peringatan bagi tiap-tiap hamba yang kembali (mengingat Allah)”, kemudian pada Surat yang sama ayat 9-11 : “Dan kami turunkan dari langit air yang banyak manfaatnya lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang diketam, dan pohon kurma yang tinggi-tinggi yang mempunyai mayang yang bersusun-susun, untuk menjadi rezki bagi hamba-hamba (Kami), dan Kami hidupkan dengan air tanah yang mati (kering). Seperti itulah terjadinya kebangkitan”.

Demikian juga konsep SRI (System of Rice Intensification) menekankan kepada penanganan tanaman secara lebih arif dengan prinsip tanaman diperlakukan dengan selayaknya, tidak seperti saat ini dimana sebelum ditanam tumbuhan mendapatkan perlakuan yang mengarah kepada penyiksaan seperti dicabut dari tanah dengan semena-mena, dipotong akar dan daun bagian atasnya, diikat, dilempar dan disimpan dulu sebelum ditanam sehingga dibiarkan tidak mendapatkan makanan.

Pada kenyataannya dibeberapa pelatihan yang sudah dilaksanakan, konsep pertanian organik dan metoda SRI ini akan lebih mudah diterima oleh orang-orang ‘yang lembut dan jernih hatinya’, dan sebaliknya diingkari kebenarannya oleh orang-orang yang ‘keras dan keruh hatinya’. Orang-orang ‘yang lembut dan jernih hatinya’ ini biasanya lebih mudah menggunakan akalnya untuk berfikir dalam mencerna konsep ini dan lebih berani mengaplikasikannya. Kalaupun cukup banyak yang bisa menerima konsep ini namun karena kekerasan hati juga masih banyak yang belum berani mengaplikasikannya secara total. Oleh karenanya untuk merubah pola bertani menuju pertanian organik ini masih memerlukan banyak waktu, banyak usaha dan perlunya banyak peran dari berbagai kalangan.

Source : Utju Suiatna (GO SRI)
http://www.healthy-rice.com

Tags: , ,

Leave a comment